Naskah Pentas Seni Drama Kemerdekaan Indonesia

Peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia tidak pernah lepas dari cerita kepahlawanan. Namun, di balik pertempuran besar, ada perjuangan lain yang tak kalah penting, yaitu perjuangan kaum intelektual dan para pemuda

Aug 3, 2025 - 11:26
 3
Naskah Pentas Seni Drama Kemerdekaan Indonesia
Contoh Naskah Drama Kemerdekaan

Peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia tidak pernah lepas dari cerita kepahlawanan. Namun, di balik pertempuran besar, ada perjuangan lain yang tak kalah penting, yaitu perjuangan kaum intelektual dan para pemuda. Mengangkat kisah mereka ke dalam sebuah skenario drama 17 Agustus bisa menjadi cara yang segar dan mendalam untuk memaknai kemerdekaan.

Drama perjuangan tidak melulu harus bercerita tentang angkat senjata di medan perang. Kisah tentang para pemuda yang menggunakan kecerdasan, pena, dan idealisme mereka untuk menyebarkan semangat kemerdekaan adalah cerminan perjuangan yang relevan hingga hari ini. Melalui pementasan yang berfokus pada peran pemuda, generasi sekarang dapat melihat bahwa berjuang untuk negara bisa dilakukan dengan berbagai cara.

Berikut adalah contoh skenario drama yang berfokus pada perjuangan para pemuda di balik layar revolusi, cocok untuk dipentaskan oleh pelajar, mahasiswa, atau karang taruna.


Contoh Skenario Drama Perjuangan Pemuda

Judul: Gema Suara Pena dan Senjata

Tema: Perjuangan Intelektual dan Fisik Kaum Muda di Masa Revolusi

Sinopsis:
Di tengah pendudukan, sekelompok mahasiswa dan pemuda pejuang secara diam-diam mengoperasikan sebuah radio bawah tanah dan percetakan pamflet pro-kemerdekaan. Mereka harus berpacu dengan waktu untuk menyebarkan berita yang benar dan membakar semangat rakyat, sambil menghindari patroli Belanda yang semakin ketat dan curiga terhadap aktivitas mereka.

Karakter:

  1. Baskara (19 tahun): Mahasiswa jurnalistik, pemimpin kelompok yang idealis dan penulis ulung.
  2. Dewi (18 tahun): "Suara" dari radio rahasia, memiliki tutur kata yang mampu membakar semangat.
  3. Agung (20 tahun): Pejuang lapangan yang menjadi pelindung dan penghubung kelompok dengan laskar rakyat.
  4. Tirto (17 tahun): Pelajar teknik yang bertanggung jawab atas peralatan radio, cerdas namun sedikit penakut.
  5. Kapten De Kock (40-an): Perwira intelijen Belanda yang dingin dan cerdik, sadar akan bahaya propaganda.

Latar Tempat: Sebuah ruangan tersembunyi di belakang toko buku tua. Ada tumpukan koran bekas, mesin ketik tua, dan peralatan radio sederhana.

(Panggung menyala. Dewi sedang duduk di depan mikrofon, berbicara dengan suara yang jelas dan penuh semangat. Tirto sibuk mengutak-atik kabel radio. Baskara sedang menulis sesuatu di mesin ketik.)


Babak 1: Suara di Udara

Dewi: (Berbicara ke mikrofon) "...saudara-saudaraku di seluruh penjuru negeri. Jangan pernah percaya pada bisikan dusta kaum penjajah! Mereka bilang perjuangan kita telah padam. Tapi di sini, dari suara yang menembus malam, kami pastikan api itu masih menyala! Teruslah berjuang, teruslah berharap. Merdeka!"

(Dewi mematikan radio. Tirto menghela napas lega.)

Tirto: "Selesai untuk malam ini. Sinyalnya hampir terdeteksi tadi. Jantungku rasanya mau copot."

Baskara: (Tanpa menghentikan ketikannya) "Pekerjaanmu bagus, Tirto. Keberanian bukan berarti tidak punya rasa takut. Keberanian adalah tetap maju meski kau gemetar."

(Agung masuk dengan tergesa-gesa dari pintu belakang, membawa sebungkus singkong rebus.)

Agung: "Patroli semakin sering lewat jalan ini. Kita harus lebih waspada. Ini, makanlah. Perut juga perlu diisi untuk terus berjuang."

Dewi: "Ada kabar dari laskar di utara, Gung?"

Agung: "Mereka berhasil memukul mundur satu peleton musuh. Berita dari radio kita sangat membantu menaikkan moral mereka. Mereka bilang, suaramu seperti cambuk semangat, Wi."

Baskara: (Selesai mengetik, mengambil kertas) "Ini pamflet untuk besok. Sebar di pasar dan dekat masjid sebelum fajar. Biarkan rakyat tahu bahwa harapan itu nyata dan kemerdekaan sudah di depan mata."

Agung: "Siap! Pena dan suaramu adalah senjata kita, Bas. Aku hanya memastikan senjata itu tetap aman."

(Mereka berbagi singkong rebus di tengah keheningan yang penuh harapan. Lampu meredup.)


Babak 2: Badai Mendekat

(Beberapa hari kemudian. Suasana lebih tegang. Baskara terlihat cemas mondar-mandir.)

Baskara: "Sudah tiga orang kurir pamflet kita ditangkap. Mereka pasti sudah mencium keberadaan kita."

Tirto: "Aku dengar dari para pedagang, ada perwira Belanda baru, Kapten De Kock. Katanya dia ahli melacak pergerakan bawah tanah."

Dewi: "Lalu apa kita akan berhenti? Justru sekarang mereka harus lebih sering mendengar suara kita! Mereka harus tahu kita tidak takut!"

Agung: "Dewi benar, tapi kita juga tidak boleh bodoh. Aku sarankan kita pindah malam ini. Aku sudah siapkan tempat baru di gudang penggilingan padi."

(Tiba-tiba terdengar suara sepatu lars mendekat dan pintu depan toko buku digedor dengan keras.)

Suara di Luar: "Buka! Buka pintu ini! Patroli Keamanan!"

(Seketika mereka panik. Tirto gemetar ketakutan. Dewi segera menyembunyikan mikrofon. Agung mencabut goloknya dan bersiap di dekat pintu rahasia.)

Baskara: (Berbisik tegas) "Tenang! Jangan ada yang bersuara. Agung, jika mereka berhasil masuk, bawa Dewi dan Tirto lari lewat belakang. Aku akan menahan mereka."

Agung: "Tidak! Kita keluar bersama-sama atau tidak sama sekali!"

(Gedoran pintu semakin keras. Mereka saling berpandangan, menyadari bahwa mungkin ini adalah siaran terakhir mereka.)


Babak 3: Pena Terakhir, Gema Abadi

(Pintu didobrak. Kapten De Kock masuk bersama dua prajurit. Ia melihat sekeliling dengan tatapan tajam dan tersenyum puas saat melihat mesin ketik dan peralatan radio.)

De Kock: "Ah, jadi ini sarang tikus-tikus yang selama ini mengganggu tidur nyenyak kami. Sungguh sarang yang menyedihkan."

(Agung mencoba melawan tapi langsung dilumpuhkan. Baskara dan Dewi berdiri melindungi Tirto.)

De Kock: (Berjalan mendekati Baskara) "Anak muda, kau pikir tulisan dan ocehan di radio bisa mengalahkan meriam dan senapan kami? Ini konyol."

Baskara: (Menatap De Kock tanpa rasa takut) "Anda bisa menghancurkan mesin kami, Kapten. Anda bisa memenjarakan tubuh kami. Tapi Anda tidak akan pernah bisa membunuh sebuah gagasan. Suara kami mungkin kecil, tapi gemanya akan mengguncang keyakinan tentara Anda dan membakar semangat jutaan rakyat kami."

De Kock: (Tertawa) "Puisi yang bagus. Sayang sekali, ini akan menjadi karya terakhirmu. Tangkap mereka semua!"

(Saat para prajurit bergerak untuk menangkap mereka, Tirto yang sejak tadi gemetar, dengan cepat menekan sebuah tombol terakhir pada alat pemancar yang tersembunyi. Tiba-tiba, dari pengeras suara, terdengar rekaman suara Dewi yang membacakan naskah Proklamasi dengan lantang dan jelas.)

Suara Rekaman Dewi: "Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia..."

(De Kock dan prajuritnya terkejut. Mereka tidak menyangka ada rekaman yang diputar otomatis. Baskara, Dewi, dan Agung saling memandang dan tersenyum tipis penuh kemenangan.)

Baskara: (Kepada De Kock) "Lihat, Kapten? Suara itu... abadi."

(Para pemuda itu digiring keluar dengan kepala tegak, sementara suara Proklamasi terus menggema di ruangan itu, menjadi saksi bisu perjuangan mereka.)

(Lampu perlahan padam, menyisakan sorotan pada radio yang masih menyala. Pementasan berakhir.)


Itulah contoh naskah pentas seni bertema kemerdekaan dan perjuangan untuk meramaikan acara panggung HUT Indonesia ke-80. Semoga bisa menjadi inspirasi untuk menggali kreativitas para pelajar, mahasiswa, atau karang taruna dari lingkungan kalian.

What's Your Reaction?

Like Like 0
Dislike Dislike 0
Love Love 0
Funny Funny 0
Angry Angry 0
Sad Sad 0
Wow Wow 0